Drs. H. Syarafuddin Hz, M.Ag. |
Pada masa Nabi dan sahabat penafsiran al-Qur’an belum begitu rumit,
sebab sahabat dapat bertanya langsung kepada Rasulullah ketika terjadi
permasalahan. Tatkala Islam sudah tersebar di berbagai daerah, maka semakin
luas kebutuhan akan tafsir al-Qur’an. Sehingga muncullah tafsir bi al-Ma’tsur
kemudian diikuti bi al-Ra’yi serta bi al-Isyarah.
Syarafuddin HZ, pakar Ulumul al-Qur’an Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IQT) UMS dalam diskusi
bulanan Prodi IQT FAI UMS, 24 Oktober 2015, menyampaikan bahwa tafsir bi
al-Ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan al-Sunnah
Nabawiyah, dan al-Qur’an dengan penafsiran para sahabat dan tabiin. Tafsir bi
al-Ma’tsur terutama dalam bentuk tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, Tafsir
al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah menurut para mufassir adalah tafsir
yang paling berkualitas dan paling tinggi nilainya.
Menurut ustad Syarafuddin, tafsir bi
al-Ma’tsur bisa dikembangkan lebih lanjut dengan memahami ayat secara
tekstual dan kontekstual, misalnya Q.S. Al-Fatihat: 7; kata al-magdhdub dan al-dhalim,
yang biasanya ditafsirkan orang-orang Yahudi dan Nasrani bisa dikembangkan
menjadi orang-orang Komunis, atheis, atau yang lainnya. Begitupula Q.S.
Al-Anfal: 60: kata al-Quwah dengan panah, bisa dikembangkan kepada persenjataan
yang canggih (pistol, peluru kendali, tank, dll).