Rabu, 04 Mei 2016

Kuliah Umum: Muhammadiyah Go Global



Fakultas Agama Islam bersama tiga Prodinya : PAI, HES dan IQT kembali menggelar Kuliah Umum yang kali ini diinisiasi oleh Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI). Kuliah Umum yang dilaksanakan pada 3 Mei 2016 ini mengangkat tema “Kader Muhammadiyah Go Global”,dengan menghadirkan intelektual muda Muhammadiyah,  Ahmad Najib Burhani, S.Ag., M.A., M.Sc. Ph.D., Peneliti LIPI yang juga wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Inilah bagian dari paparan kuliah umumnya:
Pertama, saya harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehormatan yang diberikan oleh UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) yang berkenan mengundang saya hadir di kampus ini. Tujuan dari kuliah umum ini adalah berbagi informasi dan pengalaman tentang dan bagi kader-kader Muhammadiyah agar kita secara bersama-sama bisa go global. Tentu semangat ini merupakan bagian dari misi Muktamar Muhammadiyah yang ke-47 di Makassar yang menggarisbawahi pentingnya internasionalisasi bagi Muhammadiyah.
Hal yang selalu saya hindari dalam berbicara di depan publik sebetulnya untuk berbicara tentang “saya, saya, saya…”. Bahwa saya telah berhasil, bahwa saya telah mencapai sesuatu, bahwa saya bla… bla… bla… Saya takut berbicara seperti itu. Takut kuwalat. Takut menjadi arogan, sombong, jumawa. Takut suatu saat perjalanan itu justru berbalik arah. Biarlah cerita-cerita tentang itu saya sampaikan nanti menjelang saya meninggal dunia, ketika kemungkinan perubahan masa depan tinggal sedikit lagi. Ketika saya sampaikan saat ini, sepertinya hidup saya masih separuh jalan dan masih banyak kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.

Mengapa Go Global?
Untuk memulai bagian ini, saya ingin mengutip pernyataan dari Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Ia menyatakan, “Arguing against globalization is like arguing against the laws of gravity”. Apa artinya? Kita, umat manusia, baik setuju ataupun tidak seetuju, tidak akan dapat menolak lagi fenomena globalisasi. It is our today reality, it is our history. Saingan kita dalam berbagai sector kehidupan itu bukan hanya dari saingan-saingan tradisional seperti NU, Kristen, China, atau Arab. Saingan kita semakin banyak dan hadir di tengah kita. Kita hanya akan menjadi sopir, satpam, OB (office boy), dan tukang parkir jika tidak bisa bersaing di dunia global. Tidak ada yang mampu membendung arus globalisasi ini.
Orang bisa melakukan sweeping terhadap orang asing, membangun komunitas eksklusif, memblokir beragam media, dan sejenis. Tapi pengaruh dari luar itu tetap merembes melalui beragam cara. Cara menghadapinya bagaimana? Belajar dari kampus-kampus yang menjadi pusat dari hegemoni dunia, dan itu saat ini masih banyak yang berada di luar negeri. Artinya, kita dituntut untuk belajar di luar negeri untuk bisa meningkatkan daya saing kita.

Strategi ke LN
Untuk pertanyaan ini, tentu jawaban yang lebih mudah adalah dengan melalui beasiswa yang sudah diberikan dari Indonesia. Diantaranya melalui jalur-jalur beasiswa yang sudah terkenal seperti Fulbright, Ford Foundation, Chevening, dll. Masing-masing beasiswa itu memiliki trik yang berbeda dalam setiap wawancara dan cara menjawabnya. Karena lembaga-lembaga itu ingin menggaet orang yang berbeda. Tapi, selain dari beasiswa-beasiswa itu, banyak cara yang ditempuh oleh orang Indonesia untuk bisa ke luar negeri. Diantaranya adalah: Dengan mencari beasiswa dari kampus, dengan memasuki kampus yang tidak begitu ternama sebagai batu lompatan dan sambil bekerja di luar untuk menopang hidup, menikah dengan orang asing dan sekolah di sana (ini terjadi dalam beberapa kasus di Jepang).
Yang paling susah dalam mencari beasiswa itu adalah yang pertama, memecahkan telur. Ada orang yang mencoba sekali dan langsung dapat. Ada yang mencoba lebih dari sepuluh kali dan beru yang ke-19 dia berhasil ke luar negeri. Problem yang paling umum adalah bahasa Inggris. Banyak yang memulai pendidikan di luar negeri bukan dengan cara langsung kuliah, tapi dengan menghadiri konferensi, seminar, atau exchange program, summer program, dan sejenisnya. Itu akan membuka wawasan untuk ingin kembali ke sana.
Saya pertama kali ke luar negeri tahun 1997 untuk mengikut acara WAMY (World Association of Muslim Youth), mewakili IMM. Bagi saya, peristiwa itu akan memberikan wawasan luar biasa, membuka perspektif baru, membuat pikiran kita terus melakukan perbandingan. Setiap tempat yg kita kunjungi akan memiliki arti istimewa. Ini Singapura ya. Kita akan bercerita banyak kepada teman2 kita tentang Singapura. Pengalaman teman-teman ke luar negeri yg pertama selalu menjadi bahan omongannya. Rizaluddin Kurniawan, misalnya, pergi ke Libya dan selalu bercerita tentang Muammar Qadafy dan Libya. Wahid Ridwan yang ke USA juga terus bercerita tentang negara itu. Ini sama seperti pengelaman orang yang pergi berhaji atau umrah pertama kali. Pasti banyak hal yang ingin diceritakan kepada semua orang, entah tentang pasirnya, hajar aswad, ketemu orang yang hitam-hitam, tentang pasar, dan seterusnya. Dana peristiwa ini membuat kita untuk terus berusaha mengulang lagi, untuk ke luar negeri kembali. (sh/mj)