Fakultas Agama Islam bersama tiga
Prodinya : PAI, HES dan IQT kembali menggelar Kuliah Umum yang kali ini
diinisiasi oleh Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI). Kuliah Umum yang
dilaksanakan pada 3 Mei 2016 ini mengangkat tema “Kader Muhammadiyah Go Global”,dengan
menghadirkan intelektual muda Muhammadiyah,
Ahmad Najib Burhani, S.Ag., M.A., M.Sc. Ph.D., Peneliti LIPI yang juga
wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Inilah bagian dari paparan kuliah
umumnya:
Pertama, saya harus mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas kehormatan yang diberikan oleh UMS
(Universitas Muhammadiyah Surakarta) yang berkenan mengundang saya hadir di
kampus ini. Tujuan dari kuliah umum ini adalah berbagi informasi dan pengalaman
tentang dan bagi kader-kader Muhammadiyah agar kita secara bersama-sama bisa go
global. Tentu semangat ini merupakan bagian dari misi Muktamar Muhammadiyah
yang ke-47 di Makassar yang menggarisbawahi pentingnya internasionalisasi bagi
Muhammadiyah.
Hal yang selalu saya hindari dalam
berbicara di depan publik sebetulnya untuk berbicara tentang “saya, saya,
saya…”. Bahwa saya telah berhasil, bahwa saya telah mencapai sesuatu, bahwa
saya bla… bla… bla… Saya takut berbicara seperti itu. Takut kuwalat. Takut
menjadi arogan, sombong, jumawa. Takut suatu saat perjalanan itu justru
berbalik arah. Biarlah cerita-cerita tentang itu saya sampaikan nanti menjelang
saya meninggal dunia, ketika kemungkinan perubahan masa depan tinggal sedikit
lagi. Ketika saya sampaikan saat ini, sepertinya hidup saya masih separuh jalan
dan masih banyak kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.
Mengapa Go Global?
Untuk memulai bagian
ini, saya ingin mengutip pernyataan dari Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal
PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Ia menyatakan, “Arguing against globalization
is like arguing against the laws of gravity”. Apa artinya? Kita, umat
manusia, baik setuju ataupun tidak seetuju, tidak akan dapat menolak lagi
fenomena globalisasi. It is our today reality, it is our history.
Saingan kita dalam berbagai sector kehidupan itu bukan hanya dari
saingan-saingan tradisional seperti NU, Kristen, China, atau Arab. Saingan kita
semakin banyak dan hadir di tengah kita. Kita hanya akan menjadi sopir, satpam,
OB (office boy), dan tukang parkir jika tidak bisa bersaing di dunia
global. Tidak ada yang mampu membendung arus globalisasi ini.
Orang bisa melakukan sweeping
terhadap orang asing, membangun komunitas eksklusif, memblokir beragam
media, dan sejenis. Tapi pengaruh dari luar itu tetap merembes melalui beragam
cara. Cara menghadapinya bagaimana? Belajar dari kampus-kampus yang menjadi
pusat dari hegemoni dunia, dan itu saat ini masih banyak yang berada di luar
negeri. Artinya, kita dituntut untuk belajar di luar negeri untuk bisa
meningkatkan daya saing kita.
Strategi ke LN
Untuk pertanyaan ini,
tentu jawaban yang lebih mudah adalah dengan melalui beasiswa yang sudah
diberikan dari Indonesia. Diantaranya melalui jalur-jalur beasiswa yang sudah
terkenal seperti Fulbright, Ford Foundation, Chevening, dll. Masing-masing
beasiswa itu memiliki trik yang berbeda dalam setiap wawancara dan cara
menjawabnya. Karena lembaga-lembaga itu ingin menggaet orang yang berbeda.
Tapi, selain dari beasiswa-beasiswa itu, banyak cara yang ditempuh oleh orang
Indonesia untuk bisa ke luar negeri. Diantaranya adalah: Dengan mencari
beasiswa dari kampus, dengan memasuki kampus yang tidak begitu ternama sebagai
batu lompatan dan sambil bekerja di luar untuk menopang hidup, menikah dengan
orang asing dan sekolah di sana (ini terjadi dalam beberapa kasus di Jepang).
Yang paling susah
dalam mencari beasiswa itu adalah yang pertama, memecahkan telur. Ada orang yang
mencoba sekali dan langsung dapat. Ada yang mencoba lebih dari sepuluh kali dan
beru yang ke-19 dia berhasil ke luar negeri. Problem yang paling umum adalah
bahasa Inggris. Banyak yang memulai pendidikan di luar negeri bukan dengan cara
langsung kuliah, tapi dengan menghadiri konferensi, seminar, atau exchange
program, summer program, dan sejenisnya. Itu akan membuka wawasan
untuk ingin kembali ke sana.
Saya pertama kali ke
luar negeri tahun 1997 untuk mengikut acara WAMY (World Association of Muslim
Youth), mewakili IMM. Bagi saya, peristiwa itu akan memberikan wawasan luar
biasa, membuka perspektif baru, membuat pikiran kita terus melakukan
perbandingan. Setiap tempat yg kita kunjungi akan memiliki arti istimewa. Ini
Singapura ya. Kita akan bercerita banyak kepada teman2 kita tentang Singapura.
Pengalaman teman-teman ke luar negeri yg pertama selalu menjadi bahan
omongannya. Rizaluddin Kurniawan, misalnya, pergi ke Libya dan selalu bercerita
tentang Muammar Qadafy dan Libya. Wahid Ridwan yang ke USA juga terus bercerita
tentang negara itu. Ini sama seperti pengelaman orang yang pergi berhaji atau
umrah pertama kali. Pasti banyak hal yang ingin diceritakan kepada semua orang,
entah tentang pasirnya, hajar aswad, ketemu orang yang hitam-hitam, tentang
pasar, dan seterusnya. Dana peristiwa ini membuat kita untuk terus berusaha
mengulang lagi, untuk ke luar negeri kembali. (sh/mj)