Lembaga Dakwah Islam Indonesia, disingkat dengan
LDII, sekarang dapat dilihat dimana-mana, baik kota-kota besar, kabupaten,
kecamatan, bahkan di desa-desa. Papan nama yang tertulis LDII, Pengajian LDII,
dan Masjid LDII terdapat dipinggir-pinggir jalan, sehingga memudahkan orang
untuk mengetahui kebedaraan LDII.
Eksistensi LDII karena berlindung diketiak
Golkar, sehingga selamat sampai sekarang, namun sejak 2005 LDII mengeluarkan
konsep paradigm baru, bahwa LDII tidak berafiliasi dengan golongan ataupun
partai politik manapun. Selain itu LDII menempatkan dirinya sebagai gerakan
Islam yang berpaham salafi, sebagaimana ormas Islam lainnya. Pengidentifikasian
dirinya dengan salafi mendapat reaksi dan penolakan dari ormas Islam, karena
LDII secara fundamental memiliki konsep keagamaan yang berbeda dengan ormas
Islam lainnya. Sudarno Shobron, salah satu pakar metode penelitian agama pada
Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IQT)
UMS pada diskusi bulanan Prodi IQT FAI UMS, Kamis 18 Pebruari 2017, dalam makalah yang berjudul Religious Instituition menjelaskan bahwa ada 5 lima doktrin yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam pada umumnya, yakni; pertama, Manqul, yakni mengharuskan warga
LDII menerima transfer ilmu dari kyai/ustadz internal LDII. Kedua, Imamah
dan Bai’at, semua anggota LDII dilarang untuk menerima penafsiran
al-Qur’an dan al-Hadis yang tidak bersumber dari penafsiran imamnya. Ketiga,
Mengkafirkan dan menajiskan kelompok lain. Keempat, khotib Jum’at, warga LDII
tidak akan shlat jum’at dimasjid-masjid diluar LDII, serta belum pernah
mengundang khotib diluar uama LDII. Kelima, Taqiyah: Fathonah dan Bithonah.